Oleh: Mustafa MY Tiba /Direktur PBH Panglima Hukum

Rancangan Undang-Undang Kode Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, sejumlah ketentuan dalam rancangan tersebut dinilai memberikan kekuasaan berlebih kepada penyidik, sekaligus menimbulkan potensi ancaman terhadap hak-hak dasar tersangka.

RUU KUHAP merupakan revisi dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah berlaku sejak tahun 1981. Tujuan utama dari RUU ini adalah untuk menyelaraskan sistem peradilan pidana Indonesia dengan prinsip-prinsip HAM internasional serta menyesuaikan perkembangan teknologi dan tata kelola hukum yang lebih modern.

Namun, sejumlah pasal dalam RUU KUHAP menuai kontroversi, terutama dari kalangan pegiat HAM, akademisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil. Kritik keras dilontarkan terkait potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum dan pelemahan perlindungan terhadap hak-hak tersangka.

Pasal-Pasal Kontroversial dalam RUU KUHAP

Berikut beberapa pasal yang menjadi sorotan:

1. Pasal 71 tentang Pemeriksaan di Tempat Lain

Pasal ini memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan pemeriksaan di tempat selain kantor kepolisian atau kejaksaan, termasuk di rumah pribadi tersangka. Kritikus khawatir pasal ini dapat disalahgunakan untuk memaksa atau mengintimidasi tersangka.

2. Pasal 80 tentang Pencatatan Pernyataan Tersangka

Pasal ini mengizinkan penyidik mencatat pernyataan tersangka tanpa bantuan penasihat hukum, selama tersangka menyetujui secara lisan. Hal ini dinilai berpotensi melanggar hak konstitusional tersangka untuk didampingi kuasa hukum sejak awal pemeriksaan.

3. Pasal 126 tentang Penahanan

Pasal ini memperpanjang waktu penahanan pertama hingga 40 hari tanpa melalui persetujuan jaksa. Ini dianggap sebagai penguatan kekuasaan penyidik yang dapat membuka celah untuk penyalahgunaan wewenang.

4. Pasal 169 tentang Elektronik dan Digital

Pasal ini memungkinkan penyidik mengakses perangkat elektronik tersangka tanpa izin pengadilan dalam situasi tertentu. Kritikus menilai hal ini sebagai pelanggaran terhadap privasi pribadi.

Kritik terhadap RUU KUHAP

Penguatan Kekuasaan Penyidik Tanpa Pengawasan yang Cukup

Banyak pasal dalam RUU KUHAP memberikan kewenangan besar kepada penyidik tanpa kontrol yang memadai dari lembaga independen seperti pengadilan. Ini berpotensi menciptakan sistem yang otoriter dan rawan penyalahgunaan.

Pelemahan Hak Tersangka

Hak-hak konstitusional seperti hak untuk tidak dipaksa memberi keterangan, hak atas bantuan hukum, dan hak atas privasi diragukan akan terlindungi secara memadai dalam RUU ini.

Ketidakhadiran Mekanisme Perlindungan Korban

Selain hak tersangka, hak korban juga belum mendapat perhatian serius dalam RUU KUHAP, terutama dalam hal perlindungan dan partisipasi korban dalam proses peradilan.

Saran untuk Pemerintah dan Anggota Komisi III DPR RI

Lakukan Evaluasi Mendalam terhadap Pasal-Pasal Kontroversial

Pemerintah dan DPR RI perlu membuka ruang dialog yang luas dengan tokoh hukum, pegiat HAM, dan masyarakat sipil untuk merevisi pasal-pasal yang berpotensi melanggar HAM.

Perkuat Pengawasan terhadap Aparat Penegak Hukum

Jaminan transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum harus diperkuat agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik.

Sesuaikan RUU dengan Konstitusi dan Standar Internasional HAM

RUU KUHAP harus selaras dengan UUD 1945, terutama Pasal 28 yang menjamin hak asasi manusia, serta prinsip-prinsip yang diakui dalam instrumen HAM internasional seperti ICCPR.

Perkuat Hak Korban dan Perlindungan Saksi

RUU sebaiknya memuat ketentuan yang melindungi korban kejahatan dan menjamin partisipasi aktif mereka dalam proses peradilan.

Tunda Pengesahan hingga Konsensus Tercapai

Jika diperlukan, pengesahan RUU KUHAP sebaiknya ditunda hingga semua pihak mencapai konsensus yang inklusif dan adil.

Kesimpulan

RUU KUHAP memiliki potensi untuk membawa reformasi besar dalam sistem peradilan Indonesia. Namun, jika tidak ditinjau ulang dengan hati-hati, RUU ini justru dapat mengancam prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan DPR RI untuk mendengarkan aspirasi publik dan melakukan revisi menyeluruh agar RUU KUHAP benar-benar menjadi instrumen yang melindungi semua pihak—baik tersangka, korban, maupun masyarakat luas.

Tags:

#RUU KUHAP #Hak Tersangka #Penegakan Hukum #HAM #Komisi III DPR #Reformasi Hukum #KUHAP Baru #Hukum Pidana #Penyidik #Hak Asasi Manusia

Scroll to Top