Pendahuluan
Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi salah satu agenda penting dalam upaya memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, meskipun bertujuan untuk mengatasi berbagai kekurangan yang ada, RUU KUHAP 2025 masih menimbulkan sejumlah kritik dan perhatian serius dari kalangan hukum, aktivis hak asasi manusia, serta masyarakat sipil. Berikut adalah sembilan masalah utama yang teridentifikasi dalam RUU KUHAP ini.
1. Ketidakakuntabelan Aparat Penegak Hukum dalam Menanggapi Laporan Tindak Pidana
Salah satu isu utama yang diidentifikasi adalah ketiadaan jaminan akuntabilitas bagi aparat penegak hukum dalam merespons laporan tindak pidana dari masyarakat. RUU KUHAP 2025 tidak memberikan mekanisme yang cukup kuat untuk memastikan bahwa setiap laporan atau aduan korban tindak pidana akan ditindaklanjuti secara transparan dan profesional.
Masalah Utama:
-
- RUU KUHAP 2025 tidak mengatur pengawasan berjenjang atas tindakan aparat penegak hukum seperti yang pernah diusulkan dalam Pasal 12 RUU KUHAP 2012.
-
- Jika penyidik menolak laporan tanpa alasan yang jelas, pelapor tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk mengajukan keberatan atau komplain.
-
- Praktik laporkan ke internal institusi penyidik saja dinilai tidak cukup, karena tidak ada jaminan tindak lanjut pasca pelaporan tersebut.
Solusi yang Diharapkan:
-
- Implementasi prinsip due process melalui pengawasan yudisial atas seluruh tindakan aparat penegak hukum.
-
- Mekanisme keberatan yang dapat diajukan oleh korban jika penanganan kasus ditunda tanpa alasan yang valid.
-
- Perlunya izin pengadilan untuk setiap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
2. Kurangnya Pengawasan Yudisial dan Forum Komplain
RUU KUHAP 2025 belum secara memadai mengatur mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan menyediakan forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat. Meskipun praperadilan telah ada, mekanismenya masih sangat terbatas dan tidak mencakup berbagai pelanggaran hak yang bisa terjadi dalam proses peradilan pidana.
Masalah Utama:
-
- Praperadilan hanya dapat diajukan setelah pelanggaran prosedur sudah terjadi (post factum), dan prosesnya hanya berlangsung selama 7 hari.
-
- Objek praperadilan terbatas pada sah/tidaknya pelaksanaan upaya paksa, penghentian penyidikan, atau penuntutan.
-
- RUU KUHAP tidak mengatur mekanisme untuk menguji pelanggaran hak lainnya, seperti penundaan penanganan kasus tanpa alasan yang jelas.
Solusi yang Diharapkan:
-
- Perlu adanya mekanisme pengawasan yudisial yang lebih luas, seperti Hakim Periksa/Hakim Komisaris, untuk memantau seluruh tindakan aparat penegak hukum.
-
- Meningkatkan objek praperadilan agar mencakup berbagai pelanggaran hak yang sering terjadi dalam proses peradilan.
-
- Memberikan ruang bagi korban dan pihak-pihak yang terkait untuk mengajukan keberatan terhadap pelanggaran prosedural.
3. Ketidakjelasan Standar Upaya Paksa
RUU KUHAP 2025 belum memberikan standar objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia untuk setiap jenis upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Hal ini menciptakan celah bagi potensi pelanggaran HAM.
Masalah Utama:
-
- Penangkapan dapat dilakukan tanpa izin pengadilan, meskipun RUU KUHAP 2025 tidak menjelaskan syarat-syarat yang ketat untuk hal ini.
-
- Batasan waktu penangkapan yang tidak jelas, termasuk kemungkinan penahanan tanpa batas waktu dalam “keadaan tertentu.”
-
- Syarat dua alat bukti untuk penangkapan dirasa tidak cukup untuk menjamin keadilan, karena tidak ada penilaian tentang relevansi bukti tersebut.
-
- Alasan penahanan yang terlalu fleksibel, seperti “memberikan informasi yang tidak sesuai fakta,” yang bertentangan dengan hak ingkar tersangka/terdakwa.
Solusi yang Diharapkan:
-
- Setiap upaya paksa harus didasarkan pada izin pengadilan, kecuali dalam kondisi tertentu yang benar-benar mendesak.
-
- Standar HAM internasional harus diterapkan, seperti penangkapan yang harus dihadapkan kepada hakim dalam waktu 48 jam.
-
- Syarat-syarat penangkapan dan penahanan harus lebih spesifik dan relevan, serta dipenuhi berdasarkan bukti yang kuat dan objektif.
4. Ketidakseimbangan Peran Advokat dan Bantuan Hukum
RUU KUHAP 2025 tidak berhasil menciptakan keseimbangan yang adil antara peran advokat dan bantuan hukum yang diberikan kepada tersangka/terdakwa. Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam proses peradilan.
Masalah Utama:
-
- Advokat hanya dimungkinkan untuk melihat dan mendengar saat pemeriksaan tersangka, tanpa memiliki wewenang untuk memberikan catatan/pandangan yang disertakan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
-
- Terdapat ketidakseimbangan dalam pembuktian di persidangan, di mana penuntut umum dapat memanggil saksi tambahan tanpa memberikan kesempatan yang sama kepada terdakwa.
-
- Definisi bantuan hukum yang terbatas hanya pada advokat saja, padahal UU Bantuan Hukum juga mengizinkan organisasi bantuan hukum (OBH) untuk memberikan layanan.
Solusi yang Diharapkan:
-
- Memperkuat peran advokat dalam tahap penyidikan, termasuk memberikan hak untuk memberikan catatan dalam BAP.
-
- Menghapus ketentuan yang membatasi hak advokat untuk berpendapat di luar pengadilan.
-
- Meningkatkan akses bantuan hukum kepada kelompok rentan, terutama mereka yang tidak mampu membayar jasa advokat.
5. Ketidakjelasan Teknik Investigasi Khusus
RUU KUHAP 2025 tidak menjamin akuntabilitas pelaksanaan teknik investigasi khusus, seperti pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan. Teknik ini sangat berpotensi melanggar hak individu dan menciptakan risiko penjebakan.
Masalah Utama:
-
- Pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan diperbolehkan tanpa batasan yang jelas, bahkan dalam tahap penyelidikan.
-
- Tidak ada pengawasan lembaga lain terhadap pelaksanaan teknik ini, sehingga mudah terjadi manipulasi kasus.
-
- Korban tidak memiliki mekanisme untuk mengajukan keberatan jika dirugikan oleh teknik investigasi ini.
Solusi yang Diharapkan:
-
- Menetapkan batasan dan standar pelaksanaan teknik investigasi khusus, termasuk izin pengadilan.
-
- Memberikan hak kepada individu untuk mengajukan keberatan jika merasa dirugikan oleh teknik investigasi tersebut.
6. Ketidakjelasan Standar Pembuktian dan Pengelolaan Bukti
RUU KUHAP 2025 masih menghadapi masalah dalam menetapkan standar pembuktian yang relevan dan kualitas bukti yang digunakan dalam proses peradilan. Selain itu, pengelolaan bukti dari awal hingga akhir proses peradilan masih kurang terstruktur.
Masalah Utama:
-
- Standar pembuktian yang tidak jelas, seperti “bukti yang cukup” yang hanya diukur berdasarkan jumlah alat bukti tanpa mempertimbangkan relevansinya.
-
- Beban pembuktian klaim penyiksaan masih tidak jelas, serta cara-cara pembuktiannya yang masih bergantung pada keterangan verbal.
-
- Pengelolaan bukti elektronik dan informasi yang tersimpan dalam sistem elektronik masih kurang teratur.
Solusi yang Diharapkan:
-
- Mendefinisikan “relevansi” sebagai standar utama dalam menilai bukti.
-
- Mengatur mekanisme pengelolaan bukti secara sistematis, termasuk bukti elektronik dan biologis.
-
- Memberikan beban pembuktian kepada aparat penegak hukum dalam kasus klaim penyiksaan.
7. Ketidakjelasan Pengaturan Sidang Elektronik
RUU KUHAP 2025 belum secara lengkap mengatur syarat, mekanisme, dan akuntabilitas pelaksanaan sidang secara elektronik. Hal ini menciptakan risiko implementasi yang tidak optimal dan potensi penyalahgunaan.
Masalah Utama:
-
- “Keadaan tertentu” yang memungkinkan pelaksanaan sidang elektronik tidak didefinisikan dengan jelas.
-
- Persidangan elektronik cenderung melimitasi akses publik, terutama keluarga korban dan terdakwa.
-
- Minimnya ketersediaan fasilitas audio visual dan jaringan internet membuat proses persidangan elektronik rentan terhadap gangguan.
Solusi yang Diharapkan:
-
- Menetapkan definisi yang jelas tentang “keadaan tertentu” untuk pelaksanaan sidang elektronik.
-
- Menjamin keterbukaan akses publik terhadap persidangan elektronik.
-
- Mengatur akuntabilitas dan mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan sidang elektronik.
8. Pengaturan Restorative Justice (RJ) yang Minim Pengawasan
RUU KUHAP 2025 memuat konsep restorative justice (RJ) yang keliru dan minim pengawasan. RJ dianggap sebagai penghentian perkara di luar persidangan (diversi), padahal kedua konsep tersebut memiliki tujuan yang berbeda.
Masalah Utama:
-
- Wewenang diversi diberikan kepada penyelidik dan penyidik polisi tanpa pengawasan lembaga lain.
-
- Proses diversi dapat dilakukan pada tahap penyelidikan, sebelum ada kepastian adanya tindak pidana.
-
- Risiko pemerasan dan intimidasi oleh aparat penegak hukum terhadap korban.
Solusi yang Diharapkan:
-
- Memisahkan konsep RJ dan diversi secara jelas.
-
- Memberikan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaksanaan diversi, termasuk melibatkan penuntut umum.
-
- Menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam proses diversi.
9. Formalitas Tanpa Operasional dalam Penguatan Hak-Hak Kelompok Rentan
RUU KUHAP 2025 mencantumkan hak-hak korban, saksi, tersangka/terdakwa, dan kelompok rentan, tetapi tidak memberikan mekanisme operasional yang jelas untuk pemenuhan hak-hak tersebut.
Masalah Utama:
-
- Tidak ada penunjukan lembaga atau pihak yang bertanggung jawab langsung untuk memastikan pemenuhan hak-hak tersebut.
-
- Masalah restitusi belum diselesaikan secara memadai, karena solusi yang diusulkan tidak benar-benar memulihkan kerugian korban.
-
- Hak-hak kelompok rentan hanya disebutkan tanpa mekanisme konkret untuk diakses dan dipenuhi.
Solusi yang Diharapkan:
-
- Menetapkan lembaga atau pihak yang bertanggung jawab untuk memastikan pemenuhan hak-hak korban, saksi, dan kelompok rentan.
-
- Mengatur dana abadi yang lebih efektif untuk membayarkan ganti rugi, rehabilitasi, dan restitusi korban.
-
- Memberikan mekanisme operasional yang jelas untuk hak-hak kelompok rentan.
Kesimpulan
RUU KUHAP 2025 memiliki potensi besar untuk meningkatkan sistem peradilan pidana di Indonesia, namun masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Isu-isu seperti akuntabilitas aparat penegak hukum, pengawasan yudisial, standar upaya paksa, peran advokat, teknik investigasi khusus, standar pembuktian, sidang elektronik, restorative justice, dan penguatan hak-hak kelompok rentan harus diperhatikan secara serius. Dengan perbaikan yang tepat, RUU KUHAP dapat menjadi landasan hukum yang lebih adil dan berpihak pada hak asasi manusia.
Referensi:
-
- Koalisi Masyarakat Sipil
-
- International Commission of Jurists (ICJR)
-
- Mahkamah Konstitusi
-
- Mahkamah Agung
Artikel ini ditulis oleh: Mustafa MY Tiba, S.H [Direktur PBH Panglima Hukum
Semoga artikel ini membantu!